Ironi Transisi Energi: Dampak Biomassa Kayu terhadap Hutan Gorontalo

Ulasan terkini tentang transisi energi di Gorontalo dan konsekuensi seriusnya terhadap deforestasi. Pelajari lebih lanjut tentang dilema kebijakan energi terbarukan yang bertentangan dengan pelestarian hutan

Oleh: Lusiana Haryanti
Ironi Transisi Energi: Dampak Biomassa Kayu terhadap Hutan Gorontalo

Foto: Unsplash

Di balik wajah hijau rencana transisi energi yang gencar dipromosikan oleh pemerintah Indonesia, terdapat cerita lain yang kurang menyenangkan dari hutan-hutan di Gorontalo.

Proyek-proyek perkebunan energi, yang seharusnya menjadi solusi menuju netralitas karbon, malah berpotensi besar memperparah laju deforestasi di wilayah ini.

Keterkaitan antara industri biomass dan praktik deforestasi di Provinsi Gorontalo menimbulkan pertanyaan besar tentang keberlanjutan lingkungan dan etika pengelolaan sumber daya alam.

Industri Biomassa Kayu dan Ironi Deforestasi

Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, terjadi deforestasi masif seluas 1.105 hektar di kawasan Kabupaten Pohuwato selama periode 2021-2023.

Peta Deforestasi
Peta Deforestasi Tahun 2021–2023

Deforestasi ini terjadi di dalam konsesi PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL), yang sebelumnya merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Kedua perusahaan ini, menurut laporan, telah mengalihfungsikan operasinya menjadi perkebunan tanaman energi dengan menanam Kaliandra dan Gamal sebagai bahan baku industri wood pellet.

Data dari Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) KLHK menunjukkan bahwa ekspor wood pellet dari Pohuwato mencapai total produksi 21.066.025 kg dengan nilai US$2.833.380 ke Jepang dan Korea Selatan.

Negara-negara ini mendominasi pasar ekspor wood pellet Indonesia, yang kian memacu kebutuhan akan pembukaan lahan baru.

Pemutihan Izin dan Permasalahan Regulasi

Dalam sebuah manuver administratif yang kontroversial, KLHK memberikan pemutihan izin kepada kedua perusahaan ini melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 01 Tahun 2022 dan Surat Keputusan Nomor 566/MENHUT-II/2011.

Keputusan ini memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi kembali dan bahkan memulai pembangunan kebun energi, yang berarti deforestasi yang direncanakan dari sekitar 17,70 ribu hektar hutan alam.

Walhi mencatat bahwa “SK pencabutan izin pelepasan kawasan yang dibebankan kepada konsesi-konsesi sawit di Pohuwato itu tidak berlaku di lapangan dan hanya bersifat pemberitahuan.” Hal ini menimbulkan keprihatinan serius tentang kredibilitas dan efektivitas kebijakan lingkungan di Indonesia.

Dampak Luas dari Kebijakan Transisi Energi

Kebijakan transisi energi yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia, seperti diuraikan dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, termasuk strategi co-firing biomassa.

Strategi ini diharapkan bisa mengurangi emisi sektor pembangkit listrik, namun kenyataannya, hal ini mungkin berdampak lain.

Penelitian dari Trend Asia menemukan bahwa pengembangan hutan tanaman energi (HTE) untuk memenuhi target co-firing PLN berpotensi menimbulkan deforestasi hingga 2,1 juta hektar.

Dengan demikian, meskipun rencana co-firing merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menurunkan emisi, implementasinya dalam konteks Indonesia cenderung membuka pintu lebih lebar lagi untuk deforestasi.

Selain itu, perizinan multi-usaha dalam bidang kehutanan yang diperkenalkan oleh UU Cipta Kerja menambah kompleksitas dan potensi eksploitasi lebih lanjut dari hutan alam.

Sementara pemerintah Indonesia berupaya untuk memenuhi komitmen global dalam mengurangi emisi dan memerangi perubahan iklim, tantangan dalam implementasi di lapangan menunjukkan adanya gap antara aspirasi dan realitas.

Proyek transisi energi yang tidak terkontrol dapat menjauhkan Indonesia dari target pengurangan emisi yang telah ditetapkan, sekaligus mengancam keanekaragaman hayati dan keberlangsungan lingkungan di Gorontalo.

Dengan permasalahan ini terus berlangsung, dibutuhkan perhatian dan tindakan yang lebih nyata dari semua pihak terkait untuk memastikan bahwa upaya-upaya hijau tidak hanya menjadi jargon tetapi benar-benar melindungi dan memperkaya sumber daya alam Indonesia.

Kabar Terkait