Blunder Teknologi AI dari MSN atas Kematian Eks NBA Brandon Hunter

Microsoft dan portal berita MSN kembali menjadi sorotan setelah publikasi konten AI kontroversial tentang mantan pemain NBA, Brandon Hunter. Apa yang sebenarnya terjadi?

Oleh: Rendy Andriyanto
Brandon Hunter

  1. Portal berita MSN, yang dimiliki oleh Microsoft, mengeluarkan konten berbasis AI yang tidak sensitif, mengecap mantan pemain NBA Brandon Hunter sebagai “useless” setelah berita meninggalnya yang secara mendadak.
  2. Ini bukanlah insiden pertama di mana Microsoft mempublikasikan konten AI yang kacau di MSN. Contoh sebelumnya termasuk panduan perjalanan yang tidak masuk akal untuk Ottawa.
  3. Penerbit asli artikel tentang kematian Hunter, Race Track, menunjukkan indikasi konten rendah kualitas dan kemungkinan plagiarisme, menggarisbawahi masalah dengan kurangnya pengawasan manusia dalam kurasi konten.

Siapa yang bisa lupa dengan masa keemasan Brandon Hunter di NBA? Mantan pemain Boston Celtics dan Orlando Magic itu meninggal dunia secara mendadak di usia 42 tahun, membangkitkan duka bagi para penggemarnya. Namun, ada yang lebih mencengangkan.

Portal berita MSN milik Microsoft, yang dikenal dengan reputasi teknologinya, baru-baru ini mempublikasikan artikel yang tampaknya dihasilkan oleh Artificial Intelligence (AI) dan malah mencap Hunter sebagai “useless” atau tak berguna. Bayangkan, sebuah artikel memaki seorang yang baru saja meninggal.

Jatuhnya kualitas konten MSN

Percaya atau tidak, bukan pertama kalinya Microsoft melakukan kesalahan sejenis. Sebelumnya, mereka juga sempat membuat berita travel yang sama tidak masuk akalnya. Terkesan seperti sedang main-main, tetapi nyatanya, di balik semua ini ada teknologi buatan OpenAI – yang tentunya didukung Microsoft.

Namun, apa sebenarnya yang terjadi dengan MSN?

Dulu, portal berita ini memiliki tim jurnalis manusia yang memeriksa konten sebelum diterbitkan. Tetapi, mereka memutuskan untuk memecat tim tersebut pada 2020. Hasilnya? Serangkaian konten buruk dan meragukan bermunculan, dari berita tentang Bigfoot hingga putri duyung.

Pembaca tentu bertanya, apa MSN tidak belajar dari kesalahan? Jeff Jones, seorang direktur senior di Microsoft, pernah menyatakan bahwa mereka sedang berupaya mencegah konten semacam itu muncul di masa depan. Namun, sepertinya upaya tersebut belum membuahkan hasil.

Lalu, apakah yang salah dengan artikel tentang Brandon Hunter?

Sumber artikel tersebut datang dari Race Track, yang memiliki sejumlah tanda merah. Dari byline anonim hingga tautan yang mengarah ke halaman yang diisi dengan teks placeholder, Race Track sendiri tampak kurang kredibel. Ironisnya, meski memiliki hampir 100.000 pengikut di Facebook, kontennya mendapatkan sedikit bahkan tanpa interaksi.

Kemudian, masalah lain muncul. Artikel-artikel dari Race Track tampaknya tidak hanya berkualitas rendah, tetapi juga terindikasi plagiat. Sebagai contoh, struktur berita tentang kematian Hunter sangat mirip dengan berita yang dipublikasikan oleh TMZ Sports. Tentu dengan beberapa perubahan kata untuk menyamarkan tindakan menjiplaknya.

Kecanggihan teknologi AI, kemajuan atau justru kesesatan?

Dalam era digital ini, penggunaan kecerdasan buatan untuk menciptakan konten tampaknya menjadi tren yang sedang naik daun. Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah AI benar-benar siap mengambil alih tugas manusia dalam menciptakan konten yang berkualitas? Kisah Brandon Hunter dan blunder Microsoft adalah bukti bahwa kita mungkin belum sampai di titik tersebut.

Sejumlah netizen dengan cepat mengecam MSN atas kelalaiannya. “AI seharusnya tidak menulis berita duka,” komentar salah seorang pembaca. Seorang lainnya menulis, “Bagian paling distopia dari ini adalah AI yang menggantikan kita akan sama kikuk dan bodohnya seperti terjemahan ini.”

Menariknya, Microsoft, yang juga pendukung utama pembuat ChatGPT, OpenAI, telah beberapa kali mempermalukan diri dengan konten yang dihasilkan oleh AI di MSN. Bukannya mengundurkan diri dari percobaan berisiko ini, mereka tampaknya tetap pada jalurnya.

Apakah AI benar-benar bisa diadopsi dalam jurnalistik?

Tidak dapat dipungkiri, AI memiliki potensi besar dalam dunia jurnalistik. Dari kecepatan produksi hingga analisis data yang mendalam, keuntungannya cukup banyak. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh insiden MSN, peran manusia dalam proses redaksi dan pengawasan konten tetap tidak tergantikan.

Jelas bahwa sistem saat ini, setidaknya yang digunakan oleh MSN, memiliki kelemahan serius. Faktanya, Jeff Jones mengklaim bahwa artikel yang kontroversial itu bukanlah hasil dari AI yang tidak diawasi, melainkan kombinasi dari teknik algoritma dengan tinjauan manusia. Ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kombinasi ini benar-benar efektif?

Terlepas dari semua kontroversi, satu hal yang jelas adalah perlunya transparansi dan tanggung jawab dalam penerbitan konten. Baik itu dihasilkan oleh manusia atau mesin, integritas dan akurasi harus selalu menjadi prioritas. Bagaimanapun, dalam era informasi, kepercayaan pembaca adalah mata uang yang paling berharga.

Kabar Terkait